Pembunuh dari Sampit

Oleh Berthold Damshäuser.

Ini cerita tentang sesuatu yang telah terjadi. Termasuk yang dipaparkan oleh tokoh cerita ini.

Bulan Mei tahun 2015. Saya check-out dari sebuah hotel di Pecenongan, Jakarta. Mau ke rumah seorang teman di Bendungan Hilir. Saya panggil taksi. Yang datang taksi Blue Bird. Bagasi dimasukkan, dan saya duduk di belakang.

Seperti biasa, saya mengamati sopir, sepintas tentu. Apa kiranya manusia itu bisa dipercaya. Sebuah wajah ramah-simpatis dimiliki pria berumur kira-kira 35 tahun membuat saya merasa aman. Tak penting, bahwa wajah kotak berkaca mata itu tidak menerangkan apa pun tentang asal-usul pemiliknya. Dia jelas bukan orang Jawa atau Sunda, juga bukan Batak. Terkesan ada sedikit ketionghoaan, tapi itu juga bukan wajah Tionghoa. Bagaimanapun, yang penting ramah alias mengundang rasa percaya.

“Ke Benhil,” suruh saya.

“Siap, Tuan,” jawab sopir. “Ke Benhil!” Kepastian dalam suaranya saya tafsirkan sebagai petanda kuat bahwa ia tahu jalan. Dan memang, tak terlalu sulit perjalanan dari Pecenongan ke Benhil. Mobil mulai bergerak. Saya mulai membaca harian yang saya bawa.

Setelah beberapa menit kami menempuh Jalan Medan Merdeka Selatan. Terdengar suara sopir saya: “Posisi saya di Jalan Merdeka, dari sini, kalau mau ke Benhil, saya harus ke mana?” Ternyata, sopir saya sedang menghubungi pusat Blue Bird, meminta keterangan. Ternyata, ia tidak tahu jalan. Pusatnya memberi keterangan yang cukup panjang. Sopir mendengarkan dengan sabar, sekali-sekali ucapkan “siap”. Mestinya, kini ia paham. Saya meneruskan baca koran.

Tak lama kemudian, ia kembali menghubungi pusatnya. “Sekarang harus ke mana?”

“Posisi anda di mana sekarang,” terdengar pertanyaan wajar dari pusat.

“Posisi saya di sini, di jalan …” Tak sanggup ia sebutkan nama jalan. Ia bingung.

Pusat menjadi tak sabar. Sama dengan saya. Apalagi saya terpaksa menyaksikan bahwa kini kami berada di Jalan Ir. H. Juanda, sedang mengarah ke tempat asal di Pecenongan. Dengan kesal saya tegur sopir saya: “Masak, tak tahu jalan ke arah Benhil. Lewat Thamrin saja. Sejak kapan Anda menjadi sopir taksi?” “Maaf, Tuan. Maaf. Saya orang baru. Saya baru hafal jalan di Jakarta Utara. Maaf, sekali lagi, maaf! Jangan marah, ya, Tuan,” ucapannya penuh kesungguhan. Wajah yang tadinya cuma ramah, kini mencerminkan sesal, bahkan penderitaan.

“Saya tidak marah dengan anda, saya marah dengan keadaan,” jawab saya, puas dengan jawaban diplomatis itu. Dalam diri saya memang sudah timbul rasa kesal. Sebuah rasa di ambang pintu kemarahan. Belum dilewatinya ambang itu disebabkan wajah itu, juga suaranya yang meminta iba. Dan tentu, saya patut tidak menjadi tuan marah. Disebut “tuan” saja tidak terasa enak. Lagipula, tersesat di jalan itu bukan karena tindakan sengaja. Dan sama sekali bukan dosa. Sopir saya menyesali perbuatannya yang cuma akibat ketaktahuan tentang peta dan jalan. Sangat patut saya maafkan. Bukankah banyak orang di Jakarta tidak menguasai peta dan jalan, di antaranya cukup banyak orang terdidik, misalnya kawan saya Agus, seorang sastrawan terkenal. Maka saya menghibur sopir saya, “Tak apa-apa. Saya tahu jalan ke Benhil. Mulai sekarang, saya bantu. Tak perlu lagi menghubungi pusat.” “Terimakasih banyak, Tuan. Terimakasih. Dan maafkan saya.” Suaranya agak dramatis, tapi jujur.

Mobil bergerak. Di sebelah kiri saya melihat Jalan Pecenongan. Tentu kami tak masuk ke situ. Mobil kembali menuju Jalan Medan Merdeka Selatan. Bergerak perlahan, karena kemacetan mulai menunjukkan kekuasaanya. Baik. Saya mesti sabar. Berita koran bersedia menghibur. Mari, membaca lagi.

“Tuan berasal dari mana?”

“Dari Jerman.”

“Ooo, Jerman. Negara bagus. Orang Jerman cakep-cakep. Misalnya Schweinsteiger. Cakep sekali.

”liih, Schweinsteiger… yang jelas tak cakep. Timbul sebuah rasa kesal melebihi rasa kesal yang tadi mengisi kalbu saya saat sopir memilih jalan salah. Andai saja ia sebutkan Mats Hummel, pemain ganteng dari klub Borussia Dortmund, klub kesayangan saya. Demikian saya pikir, dan langsung juga memikirkan perasaan saya, betapa tak pantas rasa kesal itu, yang disebabkan oleh sebuah ucapan yang sama sekali tidak penting dan disampaikan dengan maksud baik.

“Anda berasal dari mana?” tanya saya berupaya menggunakan nada ramah guna menutupi perasaan yang tak pantas itu.

“Saya orang Dayak.”

Saya diam saja. Yang penting saya telah bertanya dengan ramah.

“Schumacher juga cakep. Dua-duanya. Michael dan Ralf. Pembalap jenius.” Saya diam. Tak tertarik dengan balap mobil.

“Tuan suka dengan wanita Indonesia? Suka yang berkulit coklat atau putih?” Saya diam.

“Yang penting cantik, kan? Perempuan Dayak putih-putih. Saya bisa kenalkan kepada Tuan.”

Saya diam. Malas mengurus omongan demikian. Sedangkan mobil tetap bergerak perlahan. Kami telah berhasil belok kiri pada saat tepat. Kini berada di Jalan Thamrin, yang juga dikuasai kemacetan. Saya membaca. Membaca-baca. Tapi isi koran membosankan. Kemacetan. Semakin agung ia berkuasa. Pelambat itu jauh lebih efektif dibandingkan kekeliruan sopir saya tadi. Saya mesti mencari kesibukan untuk mengisi waktu yang semakin diperlambat. Saya melihat ke kiri, ke kanan. Keadaan dikuasai oleh mobil-mobil lain, yang semuanya diperlambat. Di depan ada sopir saya, si Dayak, yang kini pun tenggelam dalam diam. Diam yang bahagia barangkali. Ia lagi tak susah dengan asingnya jalan-jalan di rimba Jakarta. Saya mengajak dia bicara, berharap ia dapat menjadi penghilang rasa bosan saya.

“Bagaimana keadaan di kampung halaman, maksud saya di Kalimantan?”

“Saya dari Sampit. Keadaan di sana belum bagus. Tapi, tidak sepayah dulu.” “Apa maksud “dulu’? Masalah dengan orang Madura?”

Benar, Tuan. Dulu sangat mengerikan.”

“Perang Sampit itu?”

“Ya, Tuan. Mengerikan sekali. Kami bunuh banyak orang Madura. Kami tak ada pilihan lain. Mereka mau punya tanah kami.” “Saat itu anda berada di Sampit?”

“Ya, Tuan. Saat itu umur saya 18 tahun.”

“Anda ikut membunuh orang Madura?”

“Ya, Tuan, saya ikut. Itu mengerikan sekali. Kami seperti kesurupan, tidak menyadari yang kami lakukan. Leluhur ada dalam diri kami. Mereka menggerakkan kami.” “Sebelumnya ada semacam ritual?”

“Ya, Tuan. Kami dimandikan, mantra-mantra dibacakan. Setelahnya, kami mulai berperang. Sebenarnya orang Dayak orang damai, tak suka perang. Tapi, ya, mereka mau punya tanah kami, tanah leluhur kami. Kami suruh mereka pergi, tapi mereka tidak mau. Maka, tak ada jalan lain. O Tuan, itu mengerikan sekali.” “Ada juga masalah agama, karena orang Madura itu orang Islam?”

“Bukan, Tuan, bukan itu. Kami memang orang Nasrani, tapi masih percaya juga sama agama lama. Ruh, leluhur, dan sebagainya. Kami juga pancasilais, menghargai agama lain. Jadi, tak masalah kalau mereka Islam. Masalahnya, mereka mau punya tanah kami. Maka tak ada jalan lain.” “Berapa orang Madura yang dibunuh?”

“Ribuan, Tuan. Itu mengerikan sekali.”

“Perempuan dan anak Madura juga dibunuh?” “Ya, Tuan. Mengerikan itu.”

“Anda ikut membunuh?”

“Ya, Tuan. Saya digerakkan oleh senjata saya. Oleh pedang saya.”

“Berapa orang Anda bunuh?”

“Kira-kira 70. O Tuan, itu mengerikan sekali.”

“Juga perempuan dan anak-anak?”

“Bukan, Tuan, saya hanya membunuh pemimpin mereka. Tapi itu juga sangat mengerikan. Setelah membunuh, kami penggal kepala mereka. Kami terpaksa melakukan itu. Kalau tidak, ruh-ruh mereka akan mengejar kami. Kami, orang Dayak, sebenarnya suka kedamaian. Kami baik-baik terhadap siapa saja, juga terhadap pendatang. Tapi, ya, mereka mau punya tanah kami.” “Apa orang Madura membela diri?”

Ya, Tuan. Mereka datangkan pejuang dari Madura. Mereka kuat sekali, banyak dari mereka yang punya magic. Di pihak kami juga banyak yang mati.” “Tapi, akhirnya kalian yang menang, kan?”

“Ya, Tuan, kami menang. Kami dibantu leluhur. Semua itu mengerikan sekali. Tak kami sangka kami bisa sebiadab itu terhadap suku lain. Tapi, ya, mereka mau punya tanah kami. Cuma itu. Selain itu, mereka baik-baik saja. Mereka pedagang.” “Apakah Anda masih menderita karena kejadian dulu?”

“Ya, Tuan, saya menderita. Karena, itu mengerikan sekali. Tapi, Tuan, kami tidak membunuh sembarangan orang. Kami tidak membunuh orang Jawa atau Melayu. Banyak berita tidak benar. Kami cuma membunuh orang Madura.”

“Dari mana kalian tahu kalau orang itu dari Madura?” “Baunya. Orang Madura berbau sapi.”

Sopir saya menengok ke belakang. Wajahnya ramah sekali. Ia bertanya, “Tuan pernah dengar tentang semua itu?” “Ya, saya dengar. Tapi saya belum pernah bertemu dengan saksi mata. Saya pun pernah di Kalimantan, di Pontianak. Dari situ naik perahu di sungai Kapuas. Ke pedalaman. Di tepi sungai ada desa-desa orang Dayak. Di sebuah warung saya makan daging ular. Ada juga daging anjing, tapi tidak ingin saya coba. Pemilik warung juga ingin menyembelih seokor tringgiling untuk saya, lalu memasaknya untuk saya. Tapi, saya tidak mau. Melihat tringgiling itu, saya merasa kasihan. Hewan itu kelihatan begitu lemah, begitu tak berdaya.”

“Ya, ya…,” sopir saya tertawa kecil. “Tringgiling itu memang tak berdaya. Kasihan….”

“Nah, sekarang bagaimana keadaan di Sampit?”

“Aman, Tuan, tapi ekonomi tidak jalan.”

“Kenapa begitu?”

“Ya…,” dia tertawa malu, “karena orang Madura sudah pergi semua. Mereka pedagang, dan kini perdagangan lesu.” Tidak terasa bahwa mobil yang diperlambat oleh kemacetan sudah hampir sampai di kawasan Benhil. Jalan Jenderal Sudirman telah dilewati, mobil telah berputar balik di sebuah bundaran, dan kini belok kiri masuk ke Jalan Bendungan Hilir. Dan akhirnya kami sampai di tujuan, rumah teman saya. Sopir saya telah berhenti bercerita tentang Sampit, kini kembali ke masalah kekinian.

“Tuan, maafkan kesalahan saya. Tuan terlambat tiba di tujuan karena saya ambil jalan salah. Boleh saya bawa bagasi Tuan?” Ia pun ikut masuk ke rumah, membawakan bagasi saya. Setelah itu, saya mengantar dia ke luar, membayar dan memberikan tip yang lumayan besar.

“Terima kasih banyak, Tuan. Dan sekali lagi, beribu maaf.” Wajahnya cerah-bahagia. “Sampai bertemu lagi, Tuan.”

Merasa patut mengatakan sesuatu, dari mulut saya keluar berbagai kalimat: “Tetaplah menjadi manusia yang ramah. Dan senantiasa berbuat baik terhadap sesama. Maka Tuhan pasti akan memaafkan yang telah anda lakukan.”

Kalimat-kalimat itu jujur, tapi langsung saya rasakan lemah dan murahnya ucapan saya. Tapi ia menerimanya dengan baik. Wajahnya semakin cerah.

“Terimakasih! Terimakasih, Tuan!” Ia naik mobil, melambai-lambai, berangkat. Menghilang.

Saya ke kamar, membuka laptop dan mencatat peristiwa yang terjadi selama kira-kira sembilan pulih menit dalam perjalanan dari Pecenongan ke Bendungan Hilir. Mencatat sambil merenungkan perihal dosa, moral, hukuman. Merenungkan pro dan kontra, menjadi pembela juga penggugat. Akal tidak menemukan solusi. Hati berkata, “Saya suka saja dengan sopir Dayak itu, suka saja dengan si pembunuh.” Pada malam itu turun mimpi: saya berada di rimba, duduk di tepi api unggun yang dahsyat bernyala. Saya seorang pemuda, berwajah kotak, berkaca mata. Di samping saya duduk puluhan pemuda lain. Bunyi tifa bergemuruh. Iramanya membiuskan. Kami menghadap seekor tringgiling raksasa, tringgiling sangat berdaya. Ia bersabda: Mereka mau punya tanah kita. Akan kugerakkan badanmu. Serang! Saya pun digerakkan, tiada lagi memiliki diri. Mencari mereka, terpaksa bertindak, ditarik pedang. Mengerikan, mengerikan sekali. Semakin agung amuk berkuasa. Kala semakin diperlambat. Terdengarlah paduan suara mereka tak berkepala: Kami bukan sapi, kami pedagang. Tak tertartik sama tanah milik orang. Di manakah Benhil? Wajib saya temukan. Saya salah. Maafkan saya. Taksinya Blue Bird. Digerakkan leluhur. Macet berkuasa. Tersesat di jalan bukanlah dosa. Lagipula: telah disesali. Tringgiling pun mulai bernyanyi. Mengerikan, mengerikan sekali. Saya menderita. Tuhan, maafkan saya. Tuhan, saya tidak salah. Saya bangun. Bingung. Hampa. 2 Bonn, Januari 2016

Berthold Damshäuser 

Lahir 1957 di Wanne-Eickel, Jerman. Sejak 1986 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Institut für Orient und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di Universitas Bonn. Pemimpin redaksi Orientierungen, sebuah jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke bahasa Jerman. Penyunting antologi puisi Indonesia dan Jerman (bersama Ramadhan K.H.). Bersama Agus R.Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003. Anggota Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra yang pada tahun 1997 didirikan atas petunjuk Kanselir Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri RI menjadi Presidential Friend of Indonesia. Sejak tahun 2011 ia juga giat sebagai redaktur Jurnal Sajak. Sering menulis kolom bertemakan bahasa untuk majalah Tempo. Juga sering menyampaikan makalah dalam forum ilmiah. Karya terbarunya, Sprachfeur (2015), merupakan antologi terjemahan puisi Indonesia modern dalam bahasa Jerman. Pada tahun 2014 dan 2015 ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt. Laman pribadinya: https://www.ioa.uni-bonn.de/soa/de/pers/personenseiten/berthold-damshaeuser/berthold-damshaeuser

Popular posts from this blog

Republic of China's Territorial Claims